Oleh
Bungfrangki
·
1.1Hakikat Sastra Daerah
Berdasarkan letak dan kedudukannya, sastra dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu sastra dunia, sastra nasional, dan sastra daerah. Sastra dunia (world literature) merupakan ragam sastra yang menjadi milik berbagai bangsa di dunia dan yang karena penyilangan gagasan yang timbale balik memperkaya kehidupan manusia (Sudjiman 2006:72). Sastra nasional merupakan gendre sastra yang ditulis dalam bahasa nasional dan bertema universal (Zaidan, dkk, 2000:183), sedangkan sastra daerah adalah genre sastra yang ditulis dalam bahasa daerah bertema universal (Zaidan, dkk, 2000:181).
Salah satu ragam sastra yang tersebar luas dan dimiliki oleh hampir setiap daerah di dunia, khususnya di Indonesia, adalah ragam sastra daerah. Setiap daerah di Indonesia yang mempunya khasanah kebudayaan daerah sendiri dengan cirri keragaman bahasanya, mempunyai ragam sastra daerah sendiri pula. Sebagai contoh, daerah Gorontalo yang memiliki khasanah budaya daerah sendiri dengan bahasa daerah Gorontalonya, memiliki sedikitnya 15 jenis sastra daerah (Tuloli, 1979).
Seperti ragam sastra pada umumnya, sastra daerah memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya. Bedanya, jika sastra nasional menggunakan bahasa nasional (misalnya bahasa Indonesia), sastra daerah memanfaatkan bahasan daerah (misalnya bahasa Gorontalo). Jika sastra nasional diciptakan oleh pengarang (sastrawan) dan dijadikan sebagai milik seluruh rakyat suatu bangsa, sastra daerah tidak demikian. Sastra daerah umumnya tidak dapat ditelusuri penciptaannnya (anonym), dan hanya dijadikan milik sekelompok masyarakat di suatu daerah. Misalnya, cerita rakyat Lahilote hanya menjadi milik masyarakat Gorontalo, cerita rakyat Bogani hanya menjadi milik masyarakat Bolaang Mongondow, sedangkan cerita rakyat Oheo hanya menjadi milik masyarakat kendari, walaupun ketiga cerita rakyat tersebut mempunya bentuk cerita yang kurang lebih sama. Oleh karena sastra daerah tersebar pada hampir setiap daerah di nusantara, maka sastra daerah sering disebut sastra nusantara.
Dalam beberapa tulisan, pembicaraan sastra daerah diidentikkan dengan sastra lisan. Bahkan, beberapa buku teori yang membahas sastra daerah, langsung membahas sastra lisan. Singkatnya, bahasan sastra daerah pada beberapa buku lebih terfokus pada sastra lisan, walaupun disadari bahwa selain sastra lisan, ada juga sastra daerah tertulis.
Pembicaraan sastra daerah yang lebih terfokus pada sastra lisan tampaknya cukup beralasan, menurut teeuw (1993:9-10), dalam kebanyakan masyarakat Indonesia dalam masa pramodern tidak ada bahasa tulis. Atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasannya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Kekayaan sastra lisan dari berbagai suku bangsa, baik dari segi kuantitas, maupun dari segi kualitas, menurut Teeuw, luar biasa kayanya dan ragamnya. Sementera sastra (daerah) tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relative terbatas.
Terlepas dari konteks lisan atau tulis, sastra daerah merupakan khasanah budaya daerah yang penting untuk dijaga eksistensinya di daerah tempat sastra itu tumbuh. Kelangsungan sastra daerah bergantung pada antusias masyarakat untuk mempertahankannya. Jika masyarakat pemilik sastra disuatu daerah mempertahankannya, maka sastra daerah akan terus tumbuh dan terjaga eksistensinya. Namun, jika masyarakat di suatu daerah sudah tidsak lagi antusias mepertahankan sastra daerahnya sendiri, maka bukan hal yang tidak mungkin, sastra daerah lambat-laun hanya akan tinggal nama dengan prasasti-prasasti yang tak bernilai. Jika hal demikian tidak segera diantisipasi, maka niscaya sastra daerah akan terkikis habis, mati, dan punah di tanahnya sendiri.
Daftar Pustaka
Didipu, Herman.2011. Sastra Bandingan. Gorontalo: Ideas Publishing.
Berdasarkan letak dan kedudukannya, sastra dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu sastra dunia, sastra nasional, dan sastra daerah. Sastra dunia (world literature) merupakan ragam sastra yang menjadi milik berbagai bangsa di dunia dan yang karena penyilangan gagasan yang timbale balik memperkaya kehidupan manusia (Sudjiman 2006:72). Sastra nasional merupakan gendre sastra yang ditulis dalam bahasa nasional dan bertema universal (Zaidan, dkk, 2000:183), sedangkan sastra daerah adalah genre sastra yang ditulis dalam bahasa daerah bertema universal (Zaidan, dkk, 2000:181).
Salah satu ragam sastra yang tersebar luas dan dimiliki oleh hampir setiap daerah di dunia, khususnya di Indonesia, adalah ragam sastra daerah. Setiap daerah di Indonesia yang mempunya khasanah kebudayaan daerah sendiri dengan cirri keragaman bahasanya, mempunyai ragam sastra daerah sendiri pula. Sebagai contoh, daerah Gorontalo yang memiliki khasanah budaya daerah sendiri dengan bahasa daerah Gorontalonya, memiliki sedikitnya 15 jenis sastra daerah (Tuloli, 1979).
Seperti ragam sastra pada umumnya, sastra daerah memanfaatkan bahasa sebagai mediumnya. Bedanya, jika sastra nasional menggunakan bahasa nasional (misalnya bahasa Indonesia), sastra daerah memanfaatkan bahasan daerah (misalnya bahasa Gorontalo). Jika sastra nasional diciptakan oleh pengarang (sastrawan) dan dijadikan sebagai milik seluruh rakyat suatu bangsa, sastra daerah tidak demikian. Sastra daerah umumnya tidak dapat ditelusuri penciptaannnya (anonym), dan hanya dijadikan milik sekelompok masyarakat di suatu daerah. Misalnya, cerita rakyat Lahilote hanya menjadi milik masyarakat Gorontalo, cerita rakyat Bogani hanya menjadi milik masyarakat Bolaang Mongondow, sedangkan cerita rakyat Oheo hanya menjadi milik masyarakat kendari, walaupun ketiga cerita rakyat tersebut mempunya bentuk cerita yang kurang lebih sama. Oleh karena sastra daerah tersebar pada hampir setiap daerah di nusantara, maka sastra daerah sering disebut sastra nusantara.
Dalam beberapa tulisan, pembicaraan sastra daerah diidentikkan dengan sastra lisan. Bahkan, beberapa buku teori yang membahas sastra daerah, langsung membahas sastra lisan. Singkatnya, bahasan sastra daerah pada beberapa buku lebih terfokus pada sastra lisan, walaupun disadari bahwa selain sastra lisan, ada juga sastra daerah tertulis.
Pembicaraan sastra daerah yang lebih terfokus pada sastra lisan tampaknya cukup beralasan, menurut teeuw (1993:9-10), dalam kebanyakan masyarakat Indonesia dalam masa pramodern tidak ada bahasa tulis. Atau lebih tepat, seandainya ada tulisan pun, tulisan itu tidak dipakai untuk sastra dalam bahasa mereka sendiri; sebab tulisan arab di kalangan orang yang beragama Islam dari dahulu luas tersebar, juga dalam masyarakat yang biasannya dianggap tidak memiliki sastra tulisan dalam bahasa mereka sendiri. Kekayaan sastra lisan dari berbagai suku bangsa, baik dari segi kuantitas, maupun dari segi kualitas, menurut Teeuw, luar biasa kayanya dan ragamnya. Sementera sastra (daerah) tulis, jumlah masyarakat suku yang memakai tulisan untuk melanggengkan sastranya di Indonesia relative terbatas.
Terlepas dari konteks lisan atau tulis, sastra daerah merupakan khasanah budaya daerah yang penting untuk dijaga eksistensinya di daerah tempat sastra itu tumbuh. Kelangsungan sastra daerah bergantung pada antusias masyarakat untuk mempertahankannya. Jika masyarakat pemilik sastra disuatu daerah mempertahankannya, maka sastra daerah akan terus tumbuh dan terjaga eksistensinya. Namun, jika masyarakat di suatu daerah sudah tidsak lagi antusias mepertahankan sastra daerahnya sendiri, maka bukan hal yang tidak mungkin, sastra daerah lambat-laun hanya akan tinggal nama dengan prasasti-prasasti yang tak bernilai. Jika hal demikian tidak segera diantisipasi, maka niscaya sastra daerah akan terkikis habis, mati, dan punah di tanahnya sendiri.
Daftar Pustaka
Didipu, Herman.2011. Sastra Bandingan. Gorontalo: Ideas Publishing.
Share this
Posting Komentar
Komentar Blogger telah ditutup. Jika ada yang perlu disampaikan terkait konten ini, silahkan kirim pesan lewat laman kontak.